UNRU ALIAS DEA
MAS PANGERAN
PERANG
SAPUGARA TALIWANG KSB,NTB
http://gitasparta.blogspot.co.id/2011/05/unru‐alias‐dea‐mas‐pangeran‐perang.html 1/
Kisah Undru Alias Dea Mas Dan Perjuangannya
Hari kamis 17 Rajab 1320 H, bertepatan dengan
tanggal 20-7-1906 Masehi, dari
sejak
pukul 4 subuh hingga pukul 12 siang, si jago merah (api) berkobar membumi menghanguskan
kampung Sapugara/Taliwang. Berang Rea (Brang Djamid) pada waktu itu meluap
dahsyat, banjir. Langit mendung cuaca redup, angin bertiup menderu, sedang
hujan turun gerimis yang diiringgi oleh gemuruhnya halilintar dan kilatnya
guntur sambung-menyambung laksana membelah angkasa, bagaikan menggunting
langit.
Bencana mala petaka menimpa wilayah Kecamatan
Taliwang. Orang-orang pada kaget heran dengan kejadian yang mendadak datang,
mereka terpaksa siap siaga, berlari-lari mencari tempat perlindungan,
rnenyelamatkan diri dari bahaya api dan air, dus, dari hantu maut. Mereka tak
rindukan harta, cuma nyawa yang dipikirkan. Sementara air belum surut, dan
hujan belum reda, si jago merah tak enggan padam, tiang-tiang, Dinding-dinding,
dan atap rumah-rumah, Mesjid dan lumbung-lurnbung
padi
habis landas dilandanya. Sapugara bermandi api. Dari sana sini terdengar
letusan-letusan, ledakan-ledakan peluru bedil, geranat, meriam beruntun,
berirama yang diselingi oleh jerit pekik tangisan manusia-manusia, serta
rintihan hewan-hewan.
Sungguh seram, Negeri, menegakkan bulu roma.
Sapugara yang telah mewakili peperangan. Sapugara jadi abu, arang setelah si
api padam disaat sang surya tergelincir. Kalau kita bertanya pada orang-orang pada
waktu itu, siapa yang mernpelopori perang Sapugara itu, siapa orangnya ? orang-orang
dengan spontan menjawab Undru. Undru dikenal sebagai seorang tokoh terkemuka
oleh rakyat Sapugara Taliwang, pada saat itu menjabat sebagai Demung, (Camat) pada
kecamatan Taliwang yang bertempat di Sapugara, berdasarkan persetujuan Sultan
Moh. Kaharuddin Sultan Sumbawa. Keturunan dan anak siapa Undru itu? Menurut
hikayat rakyat, Undru lahir di Taliwang pada tahun, ? anak tunggalnya Dea
Mangku, keturunan raja Goa keturunan Makasar dengan gelar Raja Sulabesi dan
Ratunya Angin Mamiri . Kemudian kita bertanya lagi, siapa itu Dea Mangku ? Diatas
dikatakan Dea Mangku keturunan Raja Goa " Makasar dan ia lahir disana. Ketika
ia masih dalam usia muda, Dea Mangku senang merantau, berkelana mengarungi
lautan, melintasi pulau-pulau mencari ilmu dan pengalaman di negeri orang.
Diantaranya sebelum ia masuk dan rnenetap di Taliwang Sumbawa, pernah juga ia
berkelana di Solo (Surakarta) Jawa Tengah, menuntut ilmu bersama-sama disana
dengan pangeran Mangku Bumi ke III Raja Solo. Sudah barang tentu banyak ilmu
yang diperolehnya. Dan ilmu-ilmu itu selalu ia amalkan kepada orang-orang yang memerlukannya.
Memang ilmu adalah untuk amal. Disamping itu Dea Mangku memiliki sifat-sifat pribadi
yang tangkas, sigap serta pemberani. Sudah seyogyanya apabila anaknya juga
memiliki karakter/piil perangai seperti ayahnya.
Nama Dea Mangku pernah gempar disekitar Alas,
Seteluk, Taliwang dan Jereweh, setelah mampu rnenempuh dan menaklukan Mirata di
bukit (olat) Mantar (seteluk) bersama seorang penggawanya yang bernama Abbas.
Begitulah tentang Dea Mangku, sekilas riwayatnya yang telah mencetak seorang
putra : UNDRU alias Dea Mas.
Tadi telah dikatakan tentang watak, cara kerja yang
sama dengan ayahnya Dea
Mangku.
Rakyat telah mencurahkan kepercayaan kepadanya, jika Undru harus mengemban
jabatan sebagai Camat di Kecamatan Taliwang. Undru jadi Camat Taliwang yang
beribu kota di Sapugara. Menjadi camat pada waktu itu bukan tugas yang
menyenangkan, menghadapi kewajiban yang berat, yang perlu dipecahkan dan
dilaksanakan, Sebagai problem yang harus di kerjakan dengan teliti serta ulet.
Sebab yang dihadapi bukan setumpuk kertas di atas meja, bukan berlembar-lembar surat
di dalarn laci, dan bukan pula huruf yang bergaris di dalam buku-buku dengan
cap stempelnya, bukan. Yang dihadapi adalah rakyat, manusia-manusia yang
berfikir dan berkemauan. Yang dihadapi adalah Bangsa dan Negara, yang pada
waktu itu sedang sakit dalam genggaman Imperialisme Belanda.
Rakyat Sumbawa adalah merupakan sebagian/sekelompok
dari keluarga besar rakyat lndonesia. Otomatis kalau nasibnyapun sama pula
dengan rakyat-rakyat di seluruh pelosok tanah air kita ini. Rakyat Sumbawa pun
diperlakukan secara tidak senonoh oleh penjajah. Belanda mengeluarkan peraturan-peraturan
baru katanya, bahwa penduduk Sumbawa di haruskan bekerja secara.sukarela, membuat
jalan-jalan raya, membangun jembatan-jembatan, gedung-gedung dan lainnya.
Mereka disuruh banting tulang tanpa upah. Siapa lalai dipukul seperti kerbau,
disetrap, disuruh kerja terus-menerus, selama tiga kali dua puluh empat jam
tanpa hentinya.
Begitu pula harta pusaka sang rakyat, tak lepas dari
ancaman bea kolonial, semuanya dikenakan pajak dan rente yang tinggi. Barang
siapa yang enggan bayar pajak, harta miliknya disita, diblokir, serta
sipemiliknya dijadikan budak, siapa yang rnenentang, tentu ia telah rela
menjadi tuan rumah di Bui. Rakyat pada masa itu mulai gelisah, mereka merasa
kalau kemerdekaan hidupnya terganggu. Pepatah berbicara ”Fajar menyingsing
bukan karena jago berkokok, karena matahari terbit”. Begitu pula Undru ketika
sebagai Camat, ia tak tega menagih rente kepada rakyat yang sedang demam dengan
kesusahan-kesusahan hidup, sekalipun ia disuruh oleh pemerintah kerajaan. Ia
selalu berpikir, ”Kalau aku patuh kepada Belanda pasti rakyat memusuhi aku,
padahal aku lahir ditengah-tengah rakyat, aku anak kandung rakyat, rakyat
bangsaku yang sedarah seketurunan. Aku jadi camat karena rakyat telah menganjurkan
kepercayaan
mutlak kepadaku, bahwa akulah yang rnenjadi pengemban segala amanatnya.
Belanda? ah, mereka pengemis yang hidupnya persis bagai benalu tumbuh nempel di
dahan kayu. Ia tumbuh hidup tumbuh subur karena rnenghisap zat-zat kayu, sedang
dahan itu sendiri regas kering-kerontang. Belanda yang menjajah yang mengeruk
semua kekayaan alam negeri kita, tapi mengapa dia yang mesti menagih, memunggut
pajak kepada bumi putra ?Ini tidak seharusnya demikian ini tidak adil namanya”.
Begitulah tanggapan-tanggapan, konsepsi dan analisa,. buah pikiran Undru.
Ingatannya
selalu cenderung dan terpusat kepada nasib hidup rakyat, rakyat yang sedang
digulung oleh derita dan air mata segala jerit pekik rakyat seolah-olah telah
mengilhami seluruh kehidupan Undru. Kini Undru harus banyak bicara dan harus
banyak bekerja segala kesibukan. Siang hari ia bekerja seperti biasa, malam
hari ia konsolidasi dan bermufakat dengan para punggawa-punggawanya.Tentang
bagaimana cara mempersatukan segenap potensi rakyat dan bagaimana kita mengatur
taktik, siasat peperangan nanti apabila terjadi. Perang melawan kedholiman
Stelsel Kapitalisme, Imperialisme Belanda dan antekanteknya. Kini Undru muncul
di tengah-tengah rakyat, bangkit mempelopori rakyat mengajak kepada rakyat
untuk berjuang demi keadilan dan kebenaran sekalipun jiwa raga yang
dipertaruhkan. Keadilan dan kebenaran bisa tercipta apabila kelaliman telah dapat
dihancurkan. Rakyat yang berhak menuntunnya tidak bisa bersikap manis, apalagi
main mata dengan lmperialisme, selain daripada melawannya, walau dengan cara
apapun yang ditempuhnya. Jadi kesimpulannya, rakyat berjuang bukan karena
Undru, tapi Undru berjuang dan bergerak karena rakyat, sama kira-kira
dengan
pepatah tadi.
Undru bersama punggawa-punggawa, para pemuka masyarakat
dan rakyat wilayah kecamatan Taliwang rnulai menyusun/mengatur barisan siaga
guna menyiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan-kemungkinan yang datang
secara tiba-tiba dari pihak lawan. Selanjutnya Undru telah mengambil Necurong dari
Mataiyang, seorang pemelihara/penembak
ulung meriam. Nama meriam yang dikenal pada waktu itu ada dua buah, yaitu
Dedara Gempuk dan Taruna Banjar, yang sanggup memuntahkan peluru Bubit Mumpir
untuk menyapu bersih musuh-musuh. Demikian pula pada tiap malam jum'at Undru berchulwats
ditempat-tempat tertentu sarnbil membakar menyan. Menghalwati simayor bedilnya
yang bersubang emas itu dan bermesin Pecunang namanya yang terbuat dari
kuningan bercampur tembaga dan perak. Dan pada saat itu Undru sudah kurang
aktif bekerja di kantor.
Sikap Undru dan kawan-kawan telah diketahui lawan-lawannya,
oleh Belanda bahkan Belanda makin curiga setelah segala-gala rencana undru tsb,
tercium. Demi melihat gejala-gejala yang sedemikian itu Belanda mengirim
beberapa orang utusan yang membawa berita. Pilih satu diantara dua, bayar pajak
ataukah perang. Setelah utusan tersebut diterima oleh Undru ia rnenjawab bahwa
bagaimanapun ia serta seluruh rakyat Kecamatan Taliwang yang tunduk dibawah
pengaruhnya tidak mau bayar pajak dan lain-lainnva dan mengenai perang, Undru menandaskan
bahwa untuk merebut kekuasaan dan kemerdekaan kami akan menempuh dengan
berbagai cara. Apabila tidak berhasil dengan cara damai, dengan cara perangpun
boleh. Selanjutnya Undru menegaskan kepada utusan-utusan tersebut. Bahwa memang
tatkala pertama kali Belanda datang ke Indonesia segala janjinya manis dan indah.
Tapi prakteknya bertolak belakang. Katanya mencari rempah-rempah sambil
meluaskan jaringan-jaringan perdagangan yang bersahabat dan sebagainya. Tetapi
kenyataannya disulap dengan menjajah, menindas, mengeruk kekayaan serta mengadu
dornbakan Bumi Putera sendiri yang tiada berdosa. Demikian jawaban Undru buat
Belanda yang disampaikan kepada utusan-utusan tersebut. otomatis kalau jawaban-jawaban
Undru itu diterima oleh Belanda dengan hati gusar dan geram. Undru dan kawan-kawannya
telah merasa jika
dalam
waktu singkat nanti peperangan akan berkobar. Maka rakyat diberi peringatan
terutama orang-orang tua yang sudah pikun, perempuan-perempuan dan anak-anak
agar
segera evakuasi atau menyingkir di ternpat-tempat yang aman. Begitu pula anak
istri Undru telah diungsikannya dan diberi peringatan supaya dalam menghadapi
macam-macam musibah hendaknya tetap tenang dan waspada.
Sahdan, setelah segenap sesuatunya mustaid maka bersiagalah
Undru dengan pasukannya menanti kedatangan serdadu si mata biru itu. Sementara
itu serdadu-serdadu Belanda dari Sumbawa Besar. Telah dipindahkan ke Taliwang
lengkap dengan segenap peralatannya dari Taliwang mereka mulai mengatur barisan
dalam selagorde pasukan berkuda (kabaleri), pasukan-pasukan luar biasa
(infantri) dan pasukan-pasukan,
penyelidik
(Intelegiance Kamuvalse) ke semua pasukan-pasukan itu dipimpin oleh Kapten Yan
Clement. Pasukan-pasukan serdadu Belanda tersebut. Bergerak berduyun-duyun menuju
Sapugara melalui Brang Panemu dan Bre, ini terjadi pada tanggal 11 Radjab 1320
H (19 Juli 1906) sekira jam menunjukan pukul enam sore saat itu. Dan serdadu-serdadu
Belanda yang didrop kira-kira menurut taksiran tidak kurang dari 60 lusin yaitu720
orang. Pasukan mata-mata Undru melaporkan bahwa Belanda telah masuk menduduki Bre
(nama desa), rencana mereka nanti malam pukul 2 malam akan melakukan penyerangan
ke sapugara. setelah menerima laporan demikian Undru segera
memerintahkan
kepada Punggawa Ireng, Punggawa Beaus, masing-masing Sangaria dan Talup, agar
segera menyusun tentaranya/pasukannya masing-masing, siap siaga menempati
tempat-ternpat yang strategis letaknya guna memberikan pukulan perlawanan
sengit kepada setiap musuh.
Malam itu malam kamis 17 Radjab 1320 H ( 20 Juli
1906) suasana sekitar kampung Sapugara, sunyi senyap, tiada bintang yang
menampakan dirinya di cakrawala, karena tertutup oleh kabut dan awan hitam
menggayut di angkasa, yang hitam laksana cadar yang menutupi wajah manis gadis
gurun pasir, hanya jangkerik dan bangsa serangga berlomba mengantarkan suara
merdunya keruang alam ini, membuai bersenandung dimalam syahdu. Meski malam itu
sunyi sepi, namun jantung hati manusia pada berdenyut dan berdebar diamuk oleh
bermacam-macam hayal, apa jadinya gerangan nanti apabila jadi bertempur, perang
dan lain-lainnya.
Tooor. .. . Dooor... ..Tooor. ... .. suara pistol,
sebagai sen (tanda) tiga kali berturut-turut dari pihak Belanda, yang di
tembakan ke atas, pertanda bahwa perang akan dimulai. Begitu juga Tentara Undru
dan kawan-kawan dengan tembakan Dorloknya lima kali berturut-turut memecah
keheningan malam sebagai tanda balasan. Setelah kedua belah pihaknya bermain
kode, mulailah mereka-mereka bertempur. Saling bidik, saling tembak, saling
pekik, perang campuh, hebat seru dan menyeramkan. Gelegamya suara meriam dan
senapan serta gemerciknya pedang beradu, seolah-olah sebuah adegan drama yang
menegakkan bulu tengkuk. Itu terjadi pada tanggal 20 Juli 1906, yang diawali
sejak pukul 4 subuh dan berakhir pada jam 12:00 siang, dengan lenyapnya kampung
Sapugara. Dan disini tidak usah kita lukiskan panjang lebar tentang bagaimana
gagah dan sengitnya perlawanan Undru dan kawan-kawan terhadap lawannya yang
nyatanya hanya tinggal tiga lusin (36 orang) hanya sisa-sisa serdadu Belanda
yang masih hidup, sedang Kapten Yan Clement, mati terbunuh dalam peperangan
itu.
Tiada berkata lagi besarnya resiko Belanda yang
mesti dikorbankan untuk keperluan perang, baik kerugian jiwa maupun kerugian
material. Ini tidak heran berdasarkan kenyataan yang pernah di saksikan oleh
rakyat pada zaman itu yakni apabila Si bedil Mayor meletus, maka Pecunang dalam
sebutir sanggup menembus musuh-musuh dua setengah lusin (30 orang). Menurut
cerita bahwa peluru Pecunang itu memiliki keistimewaan yang tak pernah dimiliki
peluru dan senjata lain, dan mempunyai keajaiban yang luar biasa. Apabila peluru
tersebut ditembakan, kena atau tidak kepada sasarannya, maka lazimnya peluru
itu kembali lagi kepada pemiliknya. Jadi sama dengan senjata yang dipergunakan
oleh Hotentot suku pedalaman asli Benua Australia, yang bernama Bumerang. Rupanya
sama dengan busur panah.Dan kalau sekarang pada abad modern ini sama dengan
peluru kendali yang digerakan oleh tenaga atom.
Kalau dari pihak lawan banyak yang jatuh korban,
maka dari pihak Undru dan
Kawan-kawan
pun tidak sedikit yang gugur/tewas di medan laga .memang di dalam
peperangan
orang tidak memikirkan siapa benar dan siapa salah, siapa menang dan siapa
kalah. Karena perang adalah penderitaan dan kehancuran belaka mendengar
perkataan perang, terbayanglah dalam kelopak rnata kita dan terdengarlah oleh
kita, sorak, sorai gemuruhnya senjata, jeritan dan tangis, tersemburnya darah,
daging-daging
yang
koyak berkeping-keping serta tulang belulang berserakan. Ngeri dan sungguh
mengerikan. Katanya jiwa itu mahal harganya dan lainlain. Tetapi mengapa begitu
murah kalau ditembus sebutir peluru atau disambar ujung tombak. Betapa tak
redanya pecaturan perang antara manusia di muka bumi ini dan betapa tak habis-habisnya
ibu pertiwi kita ini dilumuri darah dan air mata, mengapa penderitaan hidup ini
selalu menari-nari di muka kita, datang dan pergi silih berganti. Perkataan
damai laris diobralkan oleh pimpinan-pimpinan Bangsa di Dunia ini, laris seperti
pisang goreng dijaja di pasar. Betapa bahagia kita bila mendengar kata damai
itu. Namun untuk menciptakan perdamaian itu adakalanya harus ditebus dengan
perang, oleh peperangan yang terkutuk.
Sejarah membuktikan apabila terjadinya perang
biasanya diakhiri oleh drama yang memilukan hati, bangunan hancur berpuing,
hantu kelaparan dan kemiskinan mencekam kehidupan, pengemis-pengemis dan anak-anak
yatim piatuyang kehilangan ayah ibu, sebagai mahkota hidupnya bergelandangan
dimana-mana, juga perempuan-perempuan yang merasa dirinya agak cantik terus
lari ke dunia pelacuran, rnenjajal kehormatan tanpa tarif. Semuanya itu karena
perang, karena menderita lahir batin dan karena lapar.
Dalam situasi yang demikian itu, bermacam-macam penyakit
yang terjangkit, menjangkiti tubuh-tubuh manusia, TBC, cacar, kudis, busung
lapar, sakit kuning, raja singa/spilis, patel dan lain-lain. Panca indera
manusia sudah banyak kurang, cacat, infalit. Belanda telah merasa jika
dipihaknya banyak menderita, pengorbanan. Kerugian-kerugian yang parah, akibat
perang Sapugara itu. Maka dicarilah muslihat lain
untuk
menundukan Undru dan kawan-kawan.
Mulailah Belanda menjalankan politik adu. domba dan
dikuasai ( DEVIDE ET IMPERA)nya terhadap Bumi Putera. Belanda banyak
menyebarkan mata-mata sewaan alias Belanda pisak (hitam/bangsa sendiri). Mereka
disuruh propaganda dengan kalimat yang manis berbisa. "Saudara mau hidup
merdeka dan mewah ? Ikut kami Belanda dari Nederland, datang ke Indonesia ini
bukan bermaksud menjajah, tapi betul-betul hendak mendidik dan memajukan taraf
hidup saudara-saudara ke tempat yang lebih baik, agar saudara-saudara tidak
bodoh dan buta huruf. Saudara-saudara jangan keliru kemerdekaan letaknya adalah
pada persahabatan dan ke exsistensi secara damai, bukan pada pertempuran. Dan
makin terus saudara melakukan serangan kepada Belanda, berarti kemerdekaan
saudara akan musnah dan malah rantai belenggu yang rnenjerat saudara-saudara. Jangan
saudara-saudara turut Undru, sebab Undru orang bodoh, peradabannya rnasih
rendah. Ikuti Undru berarti penderitaan hidup datang bertubi-tubi,
Tapi
bersatu dengan Belanda berarti sorga, kesejahteraan dan kedaulatan saudara-saudara
akan terjamin penuh. "
Begitu manis dan lihainya propaganda Belanda yang
diludahkan kepada rakyat
Kecamatan
Taliwang khususnya. Mungkin buat orang yang lemah iman dan kurang memiliki
dasar mental yang sehat, gampang saja terpesona, terpikat, bahkan bertekuk
lutut di hadapan Imperialis, si mata biru Belanda itu. Orang-orang semacam itu
adalah jelas penjilat, pencari muka dan pembunuh, algojo bangsa sendiri. Namun
bagi orang-orang yang tebal iman, luhur fiil perangainya dan berjiwa
patriotcomplit, Omongan-omongan si rambut pirang itu, adalah laksana pedang
yang ditancapkan ke dalam dada sendiri.
Timbullah perasaan benci yang tiada putus-putusnya, dan
dendam kesumat yang
tak
terleraikan lagi kepada Belanda. Undru dan rekan-rekannya bersemboyan :
"DARI PADA MUNDUR MENYERAH, LEBIH BAIK MAJU BERLAWAN, MESKIPUN HARUS MATI
BERTINDIH BANGKAI"
Demikianlah tekad,vang tercetus dalam hati nurani
mereka, tekad yang tulus ikhlas. Undru dan kawan-kawannya pantang menyerah
mentah-mentah kepada lawan, mereka terus bergerilya. Berkali-kali pasukannya
memukul mundur musuh, tapi berkali-kali juga mereka terpukul, melainkan rakyat
banyak yang jatuh korban. Selama Undru dan kawan-kawannya bergerilya, selama
itu pula Belanda mempergunakan kesempatan-kesempatannya berpropaganda, sehingga
banyak rakyat yang menyerah tanpa syarat, tak lagi bersedia perang. Selama
Belanda terus melakukan pengejaran-pengejaran yang dibarengi dengan propaganda-propaganda
licik untuk mempengaruhi dan memancing publik (masyarakat), tapi Undru dan
kawan-kawan kian sengit memberikan balasan
perlawanan
sambil bergerilya, merayap terus menaiki tebing-tebing curam, menuruni lernbah-lembah
dalam, bersembunyi di sela-sela batu terjal antara Gunung Keminyak Bakatmonte,
terus merayap mendaki bukit-bukit Rarak dan Rungis. Moral sahabat Sahabat Undru
makin tinggi serta semangat mereka untuk bertempur kian mendidih kian bergelora,
setelah mengetahui banyak pihak musuh yang rontok.
Menurut cerita rakyat, tatkala berkobarnya perang di
Rarak dan Rungis ratusan
lusin
serdadu-serdadu belanda yang amblas dihujani batu-batuan besar oleh tentara
Undru dan kawan-kawannya, dari atas celah-celah bukit. Makin gigih Undru dan
kawan-kawan melancarkan perlawanan sambil membobolkan benteng/loji-loji pertahanan
musuh, makin tambah kejam Belanda melakukan penindasan-penindasan dan siksaan-siksaan
terhadap rakyat, suatu perbuatan yang di luar batasan kemanusian. Tidak sedikit
gadis-gadis yang rusak kehormatannya karena diperkosa. Sungguh tak tertahankan
oleh rakyat tentang keganasan si mata biru itu. Bukan masalah yang aneh apabila
pasukan-pasukan tentara Undru dan kawan-kawan kian hari kian menipis, kian
surut bahkan kian berkurang jumlahnya. Mereka terbentur oleh makanan, obat-obatan
serta
persenjataan. Bagaimana tidak demikian, karena banyak lumbung-lumbung padi
dibakar.
Serta alat senjata yang dipergunakan oleh lawan jauh lebih besar dan lebih
modern pada waktu itu. Tegasnya Undru dan kawan-kawan telah merasa, jika dan
pengikutnya sudah terjepit. Mereka mengadakan musyawarah dan mufakat dalam
memecahkan problern-problem yang di hadapinya yang kemudian melahirkan suatu
keputusan, bahwa Undru dan kawan-kawan sebagainya menyerah tanpa syarat kepada
Belanda.
Ini dikandung maksud agar supaya rakyat tidak jatuh korban lagi, mengingat dan
menimbang pula bahwa pengaruh Undru dan kawan-kawan di kalangan mata rakyat
sudah kabur, yang dikarenakan oleh propaganda-propaganda busuk Belanda. Selama
perang keluarga Undru dan kawan-kawan, anak-anak, istrinya hidup tercecer tidak
menentu lagi, dan sebagainya.
Rakyat mengisahkan pada bulan November 1906, Undru
dan kawan-kawannya
turun
dari bukit rimba Rarak menuju ke Taliwang dengan diusung oleh rakyat, menyerahkan
diri kepada Belanda. Ketika Undru menyerah badannya kurus, pakaiannya kumal-kumal,
lagi pula sering batuk-batuk saja karena terlalu kuat minum candu. Segala
tekadnya yang tulus iklas yang pernah diikrarkannya tempo hari itu, di saat ia
sedang dijajahnya, kini telah digagalkan dan di koyakkan oleh suasana yang
krisis. Ia kembali ke Taliwang bukan seperti di masa lampau sebelum perang,
tetapi kini ia pulang menyerahkan jiwa raganya pada penjajah setelah sekian
kali bertempur, demi keadilan, kebenaran dan kemerdekaan serta demi martabat
yang luhur. Selanjutnya Belanda rnenjatuhkan vonis kepadanya bahwa Undru dan
kawan-kawan akan diasingkan keluar daerah dalam waktu singkat.
Akhir November 1906. Dikala surya timbul di Timur
Raya. Dimana angin pagi yang sejuk membelai bunga-bunga dan dedaunan serta embun-embun
yang bertengger berkilauan di ujung-ujung rumput, sebentar lagi akan lenyap di panas
syamsu. Wajah kota Taliwang pada zaman itu bagai bermuram durja. Bukit-bukit belantara
yang melingkari sekitar kota serta gunung Samoan yang tegak abadi sepanjang
jaman, pada ketika itu diam membisu tak sudi bercanda dengan ombak, dengan
angin atau burung-burung yang hinggap di ranting kayu. Mereka tinggal bermuram
durja, berawan gundah gulana semua. Orang berjubel berduyun-duyun menuju alun-alun
persanggarahan ingin melihat pendekarnya akan dibuang ke negeri orang, serta
ingin mendengar kesan-kesan
dan
salam perpisahannya. Dengan mengenakan pakaian adat Sumbawa Undru keluar dari
persanggarahaan langsung menuju naik ke podium, disambut oleh tepuk tangan riuh
rendah, gegap gempita massa : Setelah situasi tenang, barulah dia mengucapkan
pidato singkatnya dalam bahasa daerah, yang terjemahannya dalam bahasa
Indonesia kira-kira sebagai berikut :
"Kawan-kawan,
sahabat-sahabat seperjuangan yang saya hormati. Selama kita berjuang untuk
kemerdekaan Tanah Air kita ini, tak pernah saya ragu-ragu bahwa tujuan sejati
itu pasti menang. Untuk cita-cita itu, saya dan teman-temanku telah
mengorbankan segala hidup ini. Apa yang kita inginkan bagi tanah air ialah hak
untuk hidup mulia, untuk martabat yang utuh, untuk kemerdekaan tanpa batasan.
Tetapi kolonialisme Belanda dengan sekutunya, tidak menghendakinya. Dan politik
mereka dengan sadar atau tidak, secara langsung atau tidak, mendapat bantuan
dari pejabat-pejabat tinggi itu yang kita
serahi
kepercayaan untuk membantu kita. Mereka menyogok beberapa orang dari teman-teman
setanah air kita memutarbalikan keadaan dan merongrong kemerdekaan kita.
Apalagi yang saya dapat katakan tentang mereka? Mati, hidup bebas atau
meringkuk dalam penjara, atas perintah kaum Kolonialais. Bagi pribadi saya
sendiri tidaklah menjdi soal. Soalnya adalah Taliwang, Sumbawa yang rakyatnya
melarat yang kemerdekaannya telah diroboh menjadi kurungan dan dari luar
kurungan itu mereka menonton kita dengan perasan yang begitu gembira. Tapi bagi
saya sendiri tetap tak akan gentar, sebab saya yakin Tanah air yang begitu
banyak menderita pasti aka n mempertahankan kemerdekaan dan
kedaulatannya."
Demikianlah kirakira bunyi pidato Undru pada zaman
itu. Tatkala ia mengucapkan pidatonya banyak hadirin yang menjatuhkan air mata.
Kini Undru telah didampingi oleh istrinya yang setia, yakni SITI dan CEMPAU,
serta anak-anaknya yang masih kecil, menunggang atau mengendarai dokar menuju
Labuan Balat, dengan dikawal oleh serdadu-serdadu Belanda sambil diiringi oleh
para hadirin. Disela sekian banyak pengiring, KETUB BAE' (Saad) dari Sapugara
dan BENGO, H. ABDULLAH dari Bre dan AHO, SEH HASAN dari Ponjok, ikut serta mengantarnya.
Kapal telah siap menanti di Pelabuhan Balat. Istri-istrinya bersumpah bahwa mereka
tetap setia, patuh dan taat kepada suaminya, walau dibawa kemanapun juga,
mereka tetap sehidup dan semati.
Kala itu matahari telah tinggi, tepat ada di atas
ubun-ubun kepala. Setelah selesai
pamitan
dan bersalam-salaman dengan semua hadirin, ia serta anak istrinya yang setia
masuk terus ke ruang kapal berdiri di atas deks. Serunai berkali-kali dibunyikan,
jangkar telah diangkat diselingi oleh suara mesin yang gemuruh, kapal rnulai
bergerak pelan, bertolak meninggalkan pelabuhan Balat yang landai itu. Para
pengantar mulai melambai-lambaikan tangannya, dengan sapu tangan, selendang,
dan lain-lainnya, mengucapkan selamat jalan dan selamat berpisah. Lambaian
tangan mereka laksana daun-daun nyiur ditiup angin, dan sebaliknya Undru
bersama keluarganya membalasnya. Suatu lambaian yang mengandung seribu arti. Setelah
kapal menghilang di balik tirai lautan, para pengantar kembali pulang ke tempatnya
masing-masing. Disaat itulah baru mereka rasakan bagaimana sedihnya berpisah
dengan pendekar seperjuangannya yang pernah menggentarkan musuh dan yang tidak
pernah absen dalam memberikan andil bagi tanah Air dan Bangsanya. Sebaliknya
Undru sekeluarga baru merasa kesedihan setelah berpisah dengan kawan, sahabat,
kaum kerabat seperjuangannya. Matanya berkaca-kaca digenangi air kepedihan,
pedih jika mengenangkan masa-masa perjuangannya yang telah lalu.
Kapal laju terus diiramakan ombak. Undru masih
tertegun, matanya keluar melalui jendela bundar melihat daratan pulau Sumbawa
tempat tumpah darahnya yang ia cintai Air laut yang gemerlapan disinari surya
mengingatkan ia pada istri-istrinya,
yang
tak mau turut serta seperti Lala Ringgit dan Lala Kemal. Dikabulkannya seraya
berkata : ”Dirgahayulah rekan-rekanku yang senasib sepenanggungan ketenangan
dan
kebenaran
ada ditanganmu, pasti. Kedholiman kolonial niscaya hambruk pada suatu
saat"
Demikian Undru sekeluarga, hidup terlunta-lunta dalam
pembuangan yang bertahun-tahun diayun-ayunkan oleh gelombang jaman, dipindah-pindah
dari satu tempat ke tempat lain, dengan dalih akan dimerdekakan, padahal
prakteknya dibelenggu dalam bui yang indah. Dan akhirnya pendekar sapugara
Taliwang itu menghabiskan hayatnya di kota udang Cirebon Jawa Barat, dengan
meninggalkan beberapa orang putra-putri yang masih hidup, kembali pulang
berkumpul sanak keluarganya di Sapugara Taliwang. Mereka semuanya kini telah di
senja usia. Diperkirakan meninggalnya Undru itu pada tahun 1926 Masehi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar